HUKUM MENIKAH ANAK DIBAWAH UMUR TANPA IZIN ORANG TUA DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN KONVESIONAL
Pernikahan di bawah umur
Abstract
Pernikahan anak di bawah umur adalah isu yang memerlukan perhatian serius dari sudut pandang hukum Islam dan hukum konvensional. Artikel ini mengkaji pernikahan anak di bawah umur tanpa izin orang tua, dengan menyoroti perbedaan dan persamaan antara kedua sistem hukum tersebut. Dalam hukum Islam, pernikahan anak di bawah umur tanpa persetujuan orang tua bertentangan dengan prinsip syariah yang menekankan pentingnya izin wali dan kematangan mental calon pasangan. Hukum Islam menetapkan bahwa pernikahan hanya sah jika wali memberikan izin dan pasangan telah mencapai usia baligh serta memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang matang. Sementara itu, dari sudut pandang hukum konvensional, peraturan di Indonesia melarang pernikahan di bawah umur. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, dan jika salah satu calon mempelai belum berusia 21 tahun, persetujuan orang tua diperlukan. Pelanggaran terhadap batas usia ini dianggap sebagai pelanggaran hak anak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hukum konvensional lebih menitikberatkan pada perlindungan hak anak dan mencegah eksploitasi, serta memperkuat larangan pernikahan di bawah umur tanpa izin. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana kedua sistem hukum tersebut mengatur pernikahan anak di bawah umur, serta implikasi sosial dan hukum yang ditimbulkan. Dengan membandingkan kedua perspektif ini, diharapkan pemahaman yang lebih mendalam tentang tantangan dan solusi dalam melindungi hak anak serta penegakan hukum pernikahan yang adil dapat tercapai.